(Tak ada jalan kembali yang tersedia, kecuali kita harus membuat jalan sendiri)
Tidak sekedar bosan. Pastinya cukup mewakili kemonotonan di dalam ruangan sepagi ini, mendengar dongeng kemuakan. Perempuan disebelahku sangat cemas, ia terus saja melirik dan berkali-kali memencet smartphonenya, wajahnya pucat dan kakinya tidak begitu kokoh menopang beratnya mayat didalam tubuhnya sendiri. Wajahnya sangat artistik, setiap bagian garis wajahnya menoleh ke dinding kiri. Ia tersenyum kecut, yang dilihatnya adalah dirinya dalam ukuran yang lebih kecil dan berwarna terang. Siapakah yang mengamati keindahanku “bisik seseorang yang berdiam disampingku”. Aku terheran dan berdehem, apa sebenarnya yang membuatnya begitu terganggu dan penuh ketegangan. Ini benar-benar juga turut menggangguku, seolah dunia ini tidak lagi dipenuhi imajinasi, kematiannya tampak tak berjeda semenjak setiap tubuh merawat kematiannya masing-masing, kaku. Aku benar-benar takut mengedipkan mata, katakutan ku berlipatganda, jikalau ku terjebak dalam menariknya ketiadaan dan kegelapan.
Aku meninggalkan ruang kebosanan tersebut, lalu ku jajaki lorong hasrat yang tabu. Kucumbu kembali linting tembakau yang hijau kecokelatan, berharap dari sana menjelma ruh kebebasan hidup di esok hari. Esok hari mungkin menyenangkan, setelah berabad-abad dipenjara terali besi, tembok kokoh bernama patriarki, jurang bernama kapitalisme, dan kematian bernama negara. Sembari memijit jemari dan menggosoknya kedalam selaput siang, diantara sejengkal matahari diatas pangkuannya, Tuhan tampak begitu depresi. Aku berhenti bekerja, aku berhenti menjadi ibu, aku berhenti menjadi perempuan, aku berhenti memercayai apa-apa dan aku berhenti dari apapun juga.
Sehingga, waktu berhenti di halte kota mati, siang berganti malam, lalu malam menjadi gelap kemudian hitam. Semenjak kalam puputan menduduki batara. Kemudian, akulah perempuan yang bekerja untuk mengisi sel telur tetap penuh, disetubuhi lewat percapakan media sosial, akulah saksi pemerkosaan pekerja oleh bosnya, akulah bagian bab yang dilupakan oleh buku-buku feminis diakhir zaman, aku juga sempat melihat keadaan sebelum peradaban kian maskulin, bahkan sempat bertemu dengan bangsa arya asiatik pendemostikasi binatang diatas padang rumput, akulah patera yang mengiris paternalisme menjadi dua, dan setelah itu aku punah ditengah arus perkawinan.
Promiskuitas. Aku hanya ingin memulai jalan temaram yang baru. Hidup dengan kebahagiaan yang egois. Hidup dengan hasrat libido tanpa siapapun yang mengatur kehendaknya. Aku hanya ingin merumuskan kemana aku harus bepergian, dan bebas menolak apapun yang tidak kusukai termasuk untuk sekedar digoda atau diperkosa dalam khayalan siapapun.
Aku benar-benar tidak suka menjadi begitu pemaaf, maka hidupku hanya diabdikan untuk kebahagiaan.
Penulis: Black Rose