oleh : dasfemicide
Pelabelan1 menjadi sejarah kelam menandai perjalanan seksualitas perempuan. Seksualitas masa lampau tak terlepas dari praktik poliandri2 yang dilabeli budak seks3. Dewasa ini, praktik tersebut mulai memudar dan didominasi oleh poligini4.
Refleksi Seksualitas Perempuan
Pada zaman Kebuasan5, laki-laki dan perempuan dicitrakan sebagai tubuh otonom terhadap seksualitasnya. Dalam penggambaran Morgan6 terkait kehidupan sosial dan seksual manusia masa lampau, tak dapat dipungkiri bahwa otoritas seksual perempuan melampaui sikap moral masyarakat hari ini. Jika femisida7 dianggap wajar pada masa itu dan memicu poliandri, maka dalam Peradaban, aktivitas seksual didominasi oleh poligini. Seiring perubahan keluarga yang kian merujuk pada kepemilikan pribadi, kegilaannya adalah kontrol seksualitas perempuan oleh masyarakat falosentris8, dimana laki-laki sangat berperan dalam kepemilikan ini. Jika kembali menelusuri jejak seksualitas perempuan yang diremehkan dengan label budak seks sebenarnya tindakan superior seksual9 seperti poliandri, dimana perempuan melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki sepertinya hilang bahkan tragisnya meninggalkan stigma10 terhadap seksualitas perempuan. Jauh dalam masa tersebut, yakni pada zaman Peradaban11, aktivitas poligini diwajarkan pada laki-laki dan tidak mendapat penghakiman sebagai budak seks meskipun pada praktiknya sama yakni poligami12.
Jika menelusuri periode keluarga yang diteorikan oleh Morgan dalam analisisnya terkait perubahan keluarga, maka periode pertama dalam keluarga yakni keluarga Consanguine ( keluarga Pertalian Darah – gerombolan pengembara pada zaman Purba) hingga keluarga Monogami sebenarnya menandai pergantian zaman dari zaman Kebuasan, zaman Barbarisme (atau disebut juga zaman Peralihan)13 hingga zaman Peradaban, semuanya ditandai dengan kondisi sosial dan seksual dalam relasi keluarga, misal terdomestifikasinya perempuan dalam gua untuk keamanan diri dan proses kelahiran bayinya dari binatang buas, kerja perempuan yang tergantikan oleh alat bajak, kecenderungan akses tanah oleh laki-laki hingga aktivitas seksual yang konsisten.
Pada zaman Kebuasan, periode pertama adalah keluarga Consanguine, dalam relasi ini perkawinan kelompok berlangsung tanpa kekangan terhadap seksualitas gender tertentu, hal ini ditandai dengan kondisi sosial berburu – meramu yang semakin memperjelas otonomi tubuh sebagai syarat kesetaraan. Periode kedua adalah keluarga Punaluan atau disebut juga Cross – Cousin (persilangan antar sepupu) adalah sistem pertukaran pasangan antara dua komunitas yang telah bersepakat dalam hal yang berhubungan dengan perkawinan. Periode ketiga adalah keluarga Berpasangan yang ditandai dengan hubungan seksual yang konsisten terhadap satu pasangan yang disertai dengan kepemilikan kekayaan secara bersama. Meski demikian, periode keluarga ini tidak terikat, mudah berpisah dan tidak ketergantungan. Periode keempat adalah keluarga Patriarkal yang diciptakan oleh kepemilikan pribadi pasca laki – laki merebut sarana produksi. Istri dan anak bergantung sepenuhnya kepada ayah. Laki – laki memiliki beberapa istri, sebagaimana juga ia memiliki gundik dan budak. Periode terakhir adalah keluarga Monogami yang diciptakan pula oleh kepemilikan pribadi. Seiring dengan kebangkitan perkotaan Gresco – Roma, keluarga menjadi Monogami14. Laki – laki beristri satu yang sah dan anak – anak mereka mewarisi kekayaannya.
Patriarki : Hasil Pembajakan Budaya
Berada dalam zaman Peradaban menjadikan zaman lainnya tak diakui eksistensinya. Seperti halnya budaya yang telah dibajak. Budaya Patriarki15 berhasil menenggelamkan narasi tentang budaya Matriarki16, atau ramah dikenal dengan klan maternal17 pada masa tersebut. Dalam pembajakan budaya ini, kebiasaan – kebiasaan yang ada di dalamnya pun ikut beralih, termasuk seksualitas. Pendekatan kultur pernikahan di Sulawesi Selatan, Banten, dan Jawa Timur18 menunjukkan bahwa praktik matriarki itu masih berlangsung hingga hari ini. Dalam hubungan pernikahan heteroseksual19, laki – laki berada di kediaman perempuan untuk melakukan akad nikah dan melangsungkan pesta. Hal ini mirip dengan kultur seksualitas pada zaman Peralihan dimana setelah melakukan hubungan seksual di rumah bukumatula (rumah bujang)20, laki – laki diajak ke rumah perempuan. Bedanya, pada zaman Barbarisme, meski laki – laki masuk ke komune matriarkal21 tapi hampir segala hal dilakukan secara mandiri termasuk mencari makan untuk diri sendiri, hanya aktivitas seksual yang dilakukan secara bersama.
Hal lainnya adalah penentuan garis keturunan, karena bayi perempuan dibunuh, maka jumlah perempuan lebih sedikit dan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki. Dalam kondisi tersebut, sulit mengetahui sel sperma22 (siapa) yang bertemu dengan sel telur (ovum)23 perempuan. Sehingga, sebelum memasuki zaman Peradaban, garis keturunan ditentukan oleh seorang ibu sebagai material yang lebih mudah diidentifikasi secara biologis. Ini tentu lebih berlandaskan daripada mengakui kepemilikan anak oleh seorang laki-laki dengan menambahkan nama bapak di belakang nama anaknya sebagai afirmasi dari budaya Patriarki. Sel sperma dipuja sebagai pembentuk manusia padahal peran ovum sama krusialnya. Hanya saja, kesadaran masyarakat yang terlanjur misogini24 telah mereduksi peran perempuan di dalamnya, termasuk peminggiran peran organ tubuh perempuan seperti ovum. Lebih parahnya, dalam keseimbangan pertemuan sel sperma dan sel telur, masyarakat Patriarki seolah mengelak aktivitas seksual perempuan seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui, yang merupakan kompleksitas proses pembentukan manusia daripada sekadar menyediakan sel sperma yang sebanding dengan persediaan ovum.
Segregasi tubuh perempuan25 dari beragam aktivitas biologis adalah bukti kemiskinan pengetahuan. Pembajakan budaya berusaha mematikan gerak perempuan, hal paling dasar adalah melupakan peran organ tubuh perempuan, atau melihatnya memakai sudut pandang moral Patriarki yang pada tulisan sebelumnya (Tragedi Seksualitas Perempuan : Dari Jouissance hingga Fluffer) menggunakan kacamata budaya falosentris dalam menilai seksualitas perempuan. Seperti halnya masa lampau, melabeli perempuan sebagai budak seks sedangkan secara praktik, aktivitas tersebut seperti keluarga Monogami dimana laki-laki berhubungan seksual dengan beberapa perempuan, terlepas melalui pernikahan atau tidak, tapi ketika kita merujuk pada istilah poligini maka praktiknya akan sama dengan perempuan yang berhubungan seksual dengan beberapa laki-laki atau disebut juga poliandri. Perbedaan mencolok ditunjukkan oleh bagaimana kita mengkerdilkan aktivitas seksual perempuan. Masa lampau, poliandri direduksi menjadi budak seks. Namun, dewasa ini poligini dipuja sebagai supremasi gender26 tertentu. Ini terlihat wajar, tapi sebenarnya ini sangat tidak waras mengingat pelabelan, perendahan seksualitas, peminggiran peran, adalah pengalaman sehari – hari perempuan dalam relasi sosial dan seksual yang timpang.
Begitu halusnya budaya Patriarki menggeser nilai kemanusiaan seorang perempuan, maka tubuhnya sekadar dipandang objek seksual tanpa berpikir peran yang setara, relasi seperti ini terus diproduksi sebagai siklus tetap pelemahan perempuan secara sosial dan seksual. Namun, saat kita merefleksi budaya seksualitas lampau sebelum menginjak hari ini maka kita akan menemukan perkawinan kelompok27. Transformasi keluarga berhasil menekan keakraban seksual kita menjadi alienasi28 dari kehidupan sosial. Dan tragisnya, perempuan mengalami berlipat-lipat alienasi dari tubuhnya. Secara sosial, perempuan menjadi ‘bukan prioritas’29 dan secara seksual, mengeja berlapis-lapis label. Padahal sejarah masa lampau mengajarkan kehidupan seksual yang setara dan tidak represif terhadap satu sama lain. Mirisnya adalah terciptanya perasaan jijik terhadap perempuan penghuni rumah bordil30 yang sebenarnya mirip dengan konsep bukumatula di zaman Peralihan. Pertanyaannya, mengapa praktik seksual (terkhusus perempuan) masa lampau memperoleh pandangan buruk oleh masyarakat ?
Kebencian yang terus diproduksi terhadap praktik poliandri tapi mendorong poligini seolah menjadi perayaan murah – meriah manusia Peradaban, padahal jika merefleksi ke periode keluarga, ini sama halnya dengan keluarga Patriarkal dimana laki – laki melakukan (kecenderungan) akses tanah yang membentuk kepemilikan pribadi. Kondisi yang tak terelakkan ini membuat perempuan secara beramai – ramai menyerahkan diri kepada laki – laki layaknya pemaksaan orang miskin terhadap orang kaya. Dari narasi sejarah tersebut, kemapanan budaya tak terlepas dari framing aktivitas. Apa yang konsisten dilakukan dan apa yang coba dihentikan. Poligini digalakkan dan poliandri terus distigmatisasi sebagai ritual budaya dominan terhadap kehidupan sosial dan seksual perempuan juga kelompok minoritas31 lainnya.
Catatan Kaki :
- Label (bahasa inggris : Tag) adalah penanda. Kata ini digunakan untuk mengklasifikasi benda satu dan lainnya yang cenderung pula digunakan untuk menilai perempuan.
- Poliandri merupakan sistem perkawinan dimana seorang perempuan memiliki beberapa pasangan (laki – laki) dalam waktu yang bersamaan.
- Budak Seks adalah pengontrolan seksualitas seseorang terhadap orang lain. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir yang falosentris.
- Poligini merupakan sistem perkawinan dimana seorang laki – laki memiliki beberapa pasangan (perempuan) dalam waktu yang bersamaan.
- Zaman Kebuasan : Periode dimana penguasaan terhadap hasil – hasil alam, yang siap dimakan, mendominasi benda – benda yang di produksi oleh manusia, terutama adalah alat – alat untuk memfasilitasi penguasaan itu sendiri.
- Lewis Henry Morgan (1818-1881) merupakan antropolog dari Amerika Serikat yang meneliti tentang masyarakat Indian Iroquois serta ahli pada bidang etnografi, kekerabatan dan struktur sosial.
- Femisida atau Feminisida adalah pembunuhan perempuan oleh laki – laki karena mereka adalah perempuan (Diana E. H. Russel)
- Zaman Peradaban : Periode dimana pengetahuan yang lebih jauh tentang pengolahan produk alam, melalui industri yang sesuai dan kesenian didapatkan.
- Falosentrisme (Phallocentrism) adalah penggambaran perempuan – tubuhnya, seksualitasnya, berdasarkan cara pandang yang bias dan merendahkan, yaitu cara pandang laki – laki. ( Phallocentrism vs Jouissence – Fierenziana Getruida Junus)
- Superior Seksual adalah dominasi seksual suatu gender ke gender lainnya.
- Stigma adalah pandangan buruk terhadap diri.
- Poligami adalah sistem perkawinan dimana seseorang mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
- Zaman Barbarisme : Periode dimana pengetahuan tentang pemeliharaan ternak dan pembudidayaan tanah didapatkan, termasuk didalamnya peningkatan produktivitas alam melalui aktivitas manusia yang sudah mulai dipelajari.
- Monogami (Yunani : Monos yang berarti satu atau sendiri, dan Gamos yang berarti perkawinan) adalah kondisi hanya memiliki satu pasangan pada perkawinan.
- Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki – laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
- Matriarki adalah dominasi kepemimpinan perempuan. Dalam masyarakat atau kelompok yang menganut matriarki, otoritas menurun dari garis ibu.
- Klan Maternal merupakan sekelompok orang yang dipersatukan oleh hubungan kekerabatan atau keturunan dari pihak ibu.
- Bukumatula (Rumah Bujang) adalah rumah yang disediakan untuk pekawinan kelompok.
- Metode pengambilan data dilakukan melalui pesan whatsApp dengan menulis stori dan direspon oleh 25 orang termasuk dibantu oleh beberapa reponden lainnya yang ikut menyebarkan stori.
Tabel 1. Beragam daerah dimana akad nikah dilakukan di kediaman perempuan.
No. | Provinsi | Kabupaten/
kota |
Kecamatan | Desa | Jumlah (orang) |
1. | Sulawesi Selatan | Enrekang | Macalle | Macalle | 1 |
Soppeng | Marioriwawo | Goarie | 1 | ||
Bone | Tanete Riattang Barat | Jl. KH. Agussalim | 1 | ||
Maros | Labakkang | Taraweang | 3 | ||
Takalar | Galesong Selatan | Mangindara | 1 | ||
Sawakong | 1 | ||||
Sanrobone | Sanrobone | 1 | |||
Pattallassang | Salaka | 1 | |||
Polongbangkeng Utara
|
Bissua | 1 | |||
Palleko | 1 | ||||
Salaka | 1 | ||||
Mangara Bombang | Mangadu | 1 | |||
Jeneponto | Bangkala Barat | Tuju | 1 | ||
Bulu’loe | Bulu’loe | 1 | |||
Bantaeng | Sinoa | Desa Bulorapa | 1 | ||
Bantaeng | Pallantikang | 1 | |||
Bulukumba | Kajang | Tanah Towa | 2 | ||
Bulukumpa | Bontomangiring | 1 | |||
Selayar | Bontoharu | Kalepadang | 2 | ||
2. | Banten | Tangerang Selatan | Pondok Aren | Kampung Lio | 1 |
3. | Jawa Timur | Banyuwangi | Muncar | Wringin Putih | 1 |
Catatan : Data ini berberdasarkan pengamatan responden di kampungnya masing-masing, beberapa adalah peristiwa yang dialami secara langsung. (Data ini telah mendapat persetujuan dari responden untuk dimasukkan dalam tulisan)
- Heteroseksual merupakan ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual orang-orang yang berbeda jenis kelamin.
- Komune Matriarkal adalah kelompok orang yang hidup bersama secara matriarkal, lebih condong ke garis keturunan ibu.
- Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahasa Yunani kuno: σπέρμα yang berarti benih, dan ζῷον yang berarti makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi laki-laki.
- Sel Telur (bahasa Inggris : Ovum, Oocyte Ova) adalah sel reproduksi (gamet) yang dihasilkan dari ovarium pada organisme berjenis kelamin betina.
- Misogini adalah sikap budayakebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan. (Sosiolog Allan G. Johnson)
- Segregasi adalah pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan. Segregasi adalah pintu utama ketidakseimbangan sosial yang berdampak pada ketimpangan gender dalam memproduksi pengetahuan sehingga wacana hari ini seragam (minim pengetahuan dari pengalaman tubuh perempuan).
- Supremasi Gender adalah kekuasaan tertinggi (teratas) gender tertentu.
- Perkawinan Kelompok yaitu kombinasi poligini dan poliandri.
- Alienasi bisa diartikan sebagai proses menuju keterasingan (Karl Marx). Dalam budaya Patriarki, perempuan mengalami keterasingan secara sosial juga seksual ( terhadap tubuhnya).
- “Bukan Prioritas” adalah istilah yang digunakan penulis untuk mengganti kata “Manusia nomor dua”.
- Rumah pelacuran atau bordil adalah rumah yang dominan digunakan untuk berhubungan seksual.
- Kelompok Minoritas yang dimaksud adalah kelompok yang rentan mengalami represi seksual, misal Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Questioning, Intersex, Allies, Asexual, dan Pansexual.