Dewasa ini, dunia menjelma panggung komedi antar dua jenis kelamin, saling melemahkan antar laki-laki dan perempuan. Dalam forum, tak jarang laki-laki memantik diskusi sebagai manusia yang dianggap lebih mapan ilmu. Di media, mayoritas laki-laki diangkat sebagai narasumber untuk menilai sebuah permasalahan sosial sembari menawarkan solusi jitu. Di rumah, laki-lakilah yang memegang otoritas tertinggi sebagai kepala keluarga. Lalu dimana letak otoritas perempuan ?
Indonesia telah banyak memperingati hari perempuan dengan mempelajari beragam sejarah pergerakan perempuan, salah satunya adalah literatur gerakan wanita Indonesia atau dikenal dengan singkatan Gerwani, kongres pada tahun 1954 mengubah nama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) menjadi Gerwani karena dianggap terlalu sektarian, namun perubahan tersebut tidak serta-merta menumbuhkembangkan Gerwani menjadi organisasi pergerakan perempuan yang subur, orba terlebih dahulu menjadi parasit menghancurkan Gerwani dengan fitnah jorok seksual hingga pada tahun 1965 organisasi ini dilarang. Musuh gerakan perempuan adalah pemikiran konservatif dan diri perempuan sendiri mengingat perkataan ketua Kowani (Kongres Wanita Indonesia), federasi konservatif menyebutkan organisasi Feminis harus hati-hati agar tidak dihubungkan dengan Gerwani. Begitu kuat pengawetan wacana buruk terhadap Gerwani hingga pada tahun 1980-an, Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan dituduh membangun “Gerwani baru” seiring dengan pelarangan Gerwani secara organisasi maka tubuh-tubuh perempuan berguguran oleh senapan, kekerasan semakin mencapai tahta gemilang sehingga hilanglah perlawanan dari diri perempuan secara institusi juga individu, yang paten hanyalah superioritas laki-laki.
Praktik kekuasaan orde baru (orba) menjadi rezim kejayaan patriarki selama 32 tahun lamanya. Di tahap awal, Feminisme di dunia ketiga menjadi salah satu kekuatan penting bagi perubahan sosial pada penghujung abad 19 dan permulaan abad 20 (jayawardena 1982:13). Ironi kejantanan orba telah menelanjangi feminisme hingga gerakan perempuan tak lagi memiliki martabat di hadapan masyarakat, hal inilah yang membuat perempuan begitu sulit untuk memperjuangkan perempuan lainnya karena selalu dihadapkan dengan perjuangan dirinya sendiri yang tak kunjung usai, ditambah lagi lingkungan yang tabu pada emansipasi. Pada masa yang sama, feminisme tak lagi beranak pinak, rahim perempuan berubah menjadi tempat paling asam sehingga embrio feminis melebur bersama dinding ketidakadilan. Kondisi masa lampau telah mengibaratkan kesetaraan layaknya sperma yang tak mampu menembus indung fasisme bahkan di era Jokowi, feminisme mendominasi raga-raga yang jantan, bayi-bayi perempuan tumbuh menjadi feminis yang premature–tak kuasa melawan otoritas yang sewenang-wenang–. Suara perempuan hilang terbawa udara tanpa mikrofon (pengeras suara) laki-laki. Perempuan kehilangan vokal tergantikan oleh suara lantang laki-laki. Kondisi perempuan yang tampak masa bodoh–menggantungkan kekuasaan sepenuhnya terhadap laki-laki lalu menghilangkan otoritas diri. Meski bukan hal baru, tapi inilah sejarah pergerkan perempuan mengingat Gerwani dimasa lampau juga kehilangan arah juang tanpa PKI. Namun tidak sewajarnya bila gerakan perempuan selalu dirayakan dengan berlindung dibalik jakung laki-laki. Hak suara adalah milik individu yang perlu disuarakan secara individu pula, inilah otoritas sebenarnya.
Pada tahun 2018, International Woman Day (IWD) sebagai sejarah yang tercetak kuat diatas kelemahan perempuan kian tahun mengalami penurunan, merosotnya jiwa-jiwa dan matinya raga-raga perempuan meneriakkan keadilan telah menegaskan bahwa hari bersejarah tersebut hanyalah momentum yang disambut laki-laki dengan kepentingan dibalik kata woman. Diamnya perempuan terhadap ilusi konstitusi atas haknya adalah perkawinan yang mapan untuk melemahkan perempuan. Suara keadilan terhadap perempuan diteriakkan oleh laki-laki layaknya masalah ini juga dirasakan laki-laki. Lalu mengapa perempuan hari ini tak mampu menyelesaikan masalah diri ? terlebih lagi dalam merespon permasalahan sosial, ada apa dengan perempuan hari ini yang lebih memprioritaskan perawatan kulit, tak ingin terkena paparan sinar matahari karena mengetahui berdampak buruk terhadap kualitas kulit, tidakkah mereka lebih tahu bahwa perampasan hak lebih berdampak buruk terhadap seluruh organ tubuh ? tak hanya pada kulit ! dilain hal, perempuan sibuk menyelesaikan tugas perkuliahan sehingga suara mereka telah tergantikan oleh tuan-tuan yang mengabdi pada tahta kesetaraan, laki-laki adalah pahlawan sekaligus perampas hak perempuan yang sibuk dengan dirinya. Kewajiban menegak keadilan telah hilang pada diri perempuan, berbeda dengan zaman kekuasaan Soeharto. Di tanah fasisme tersebut, menjamur sejumlah gerakan perempuan untuk menumbangkan rezim keji orde baru. Gerwani pernah mengambil perannya secara vital dalam menjatuhkan Soeharto, demonstrasi pertama dilakukan pada 23 Februari 1998 menuntut penyediaan bahan pangan yang mampu dibeli, hal ini merupakan pemantik revolusi 1998 yang dimenangkan oleh rakyat Indonesia. Tak jauh dari gerakan Gerwani, organisasi perempuan SIP (Suara Ibu Peduli) pernah menduduki barisan terdepan dalam Koalisi Anti Soeharto.
Namun dewasa ini, masih begitu kuat diskriminasi untuk melemahkan jenis kelamin tertetu. Perempuan harusnya mengumpulkan sederet wacana untuk membentuk pemahaman manusia bahwa terlahir sebagai perempuan bukan alasan menjadi ekor manusia lainnya, meski dominasi laki-laki telah mengapling seluruh ruang tapi mereka tetap dibutuhkan sebagai nilai mutlak dalam memperbaiki tatanan sosial. Tentunya sejarah pergerakan perempuan baik secara individu maupun instansi bukan literatur yang mampu diselesaikan dalam kurun waktu singkat. Beberapa bab adalah referensi yang perlu direfleksi untuk melahirkan substansi baru pada tubuh gerakan perempuan. Meski tahun 1954 hingga ke tahun 2018 memiliki waktu cukup lama untuk merawat militansi gerakan perempuan namun racun gerakan di akhir tahun 1970-an telah melumpuhkan gerakan perempuan, kepatuhan perempuan serta dominasi laki-laki terhadap sebagian besar organisasi perempuan dibangun oleh penguasa militer untuk kembali melakukan subordinasi perempuan seperti Dharma Wanita (istri pegawai pemerintah), Dharma Pertiwi (istri tentara) dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) telah menggoyahkan haluan gerakan. Selain itu Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) didirikan segera setelah proklamasi kemerdekaan. Organisasi ini terbilang radikal, membela hak-hak perempuan dengan vokal, terutama dalam perkawinan. Organisasi tersebut menjadi jinak; kegiatan bagi kaum perempuan miskin tidak dimungkinkan, keanggotaan mereka sangat menurun. Hingga pada akhirnya, subordinasi perempuan ala orde baru benar-benar awet menghilangkan otoritas perempuan. Tak dapat dipungkiri, jika perempuan sekadar menampilkan diri sebagai identitas keindahan tanpa tindakan sosial maka manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia siap mencapai revolusi selanjutnya tanpa otoritas perempuan.
Penulis: Dasfemicide