Illustrator: Kualilaya
Saat kasus Agni Mahasiswi UGM yang di perkosa oleh salah satu teman kampusnya saat sedang melakukan kegiatan KKN di pulau seram, maluku. Tagar #KitaAgni ramai muncul di social media. Salah satu teman saya juga ikut membagikan tagar tersebut. Lucu. Seorang teman yang notabenenya pernah berbicara di depan muka saya “kamu sih mabok, makanya di perkosa deh”
Beberapa tahun yang lalu, malam minggu di sebuah kosan teman laki-laki. Saya meminum minuman alkohol berdua dengan salah seorang teman kampus saya (ya dia laki-laki) malam itu kami berdua ngobrol ngalor-ngidul soal kehidupan kampus yang baru saja kami jalani, hari semakin malam dan minuman yang saya dan dia beli sudah habis. Saat itu saya ingin pamit pulang tapi diluar hujan keras, dan saya akui saya memang bukan seorang perempuan yang punya tingkat insecure tinggi. Saat itu saya berpikir seseorang yang sedang minum bersama saya adalah seorang “teman”. Teman yang seharusnya saling menjaga&mendengar satu sama lain, naif memang tapi sungguh saya tidak pernah menyangka kalau malam itu ia akan melucuti baju dan celana saya satu persatu sementara saya tertidur dan bangun dalam keadaan menangis juga kaget.
Selanjutnya, saat kejadian itu terjadi saya menjalani hari dengan “mencoba” senormal mungkin, saya ingin sekali cerita kepada salah satu teman tapi melihat lingkungan saya yang masih berpegang teguh pada sistem patriarki. Saya hanya mendapatkan victim blaming secara terus-menerus. Kekerasan seksual yang saya alami persis seperti pribahasa; sudah jatuh dari tangga tertimpa pula. Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana desas-desus kabar itu hanya menjadi angin lalu dan banyak sekali teman yang mulai mencomooh saya. Mereka di belakang saya menceritakan bagaimana liarnya saya yang waktu itu mau-mau saja minum berdua dengan lelaki. Lambat laun saya mulai tidak tahan. Saya benar-benar menyesal dengan diri saya sendiri, saya merasa tidak becus untuk menjaga diri saya. Tapi semakin banyak artikel dan buku yang saya baca, saya mencoba untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Bulan berganti tahun pun demikian, setahun setelah kejadiaan itu saya masih menjadi orang asing untuk diri saya sendiri. Saya mencoba sebisa mungkin untuk meyakini diri saya bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi bukan lah salah saya, sampai di saat-saat saya mencoba untuk bangkit. Salah seorang teman memberanikan diri untuk bertanya tentang kasus tersebut, yang membuat saya kaget ia juga menyatakan bahwa laki-laki tersebut sebenarnya menyimpan salah satu foto bagian tubuh saya saat saya sedang tidur (diperkosa) oleh dia. Betapa hancur hati saya saat itu, saya yang saat itu sedang mencoba untuk membangun kembali rasa percaya diri saya. Saya yang mencari alasan terus-menerus mengapa saya yang di salahkan? Saya yang tidak habis pikir bagimana bisa perempuan menyudutkan perempuan lain hanya karena iya meminum alkohol bersama seorang teman laki-laki.
Di tulisan ini, saya ingin mengeluarkan semua suara yang selama ini saya bungkam!
Saya masih ingat dengan persis, salah satu teman laki-laki saya berkata bahwa saya tidak seharusnya mengupdate hal-hal mengenai feminisme. Seperti contoh keperawanan, LGBTQ dan lain-lain. Teman saya bilang seharusnya saya tidak mengupdate seperti itu di social media karena hanya akan menggiring opini seseorang tentang saya, ia khawatir apabila ada orang yang berpikiran jelek tentang saya. Untuk beberapa hari saya mulai termakan oleh omongannya, tapi semakin saya membaca berita tentang para perempuan yang mengalami kekerasan seksual, tentang masyarakat minoritas yakni LGBTQ yang di persekusi secara tidak manusiawi dan permasalahan perempuan yang lain. Saya geram!!! Saya marah!!! Tapi saya tidak tahu harus marah ke siapa!!!
Apa saya harus marah kepada Tuhan? Marah karena saya dan para perempuan diciptakan dengan selaput yang dinilai oleh masyarakat “kalau udah jebol, udah ga suci. Jijik!”
Apa saya harus marah kepada pemerintah? Marah karena Undang-Undang yang dibuat hanya berpihak pada mereka yang berlibido tinggi dan tidak becus mengatur nafsunya sendiri.
Apa saya harus marah ke pihak berwenang? Marah karena jikalau saya melaporkan mereka malah bertanya “kamu pake baju apa waktu itu?”Apa saya harus marah kepada kedua orang tua? Marah karena sedari kecil mereka tidak mengajarkan tentang pendidikan organ reproduksi&seks.Apa saya harus marah kepada pemuka agama? Marah karena sayup-sayup saya dengar mereka khotbah sambil menyamakan perempuan dengan bungkus permen yang terbungkus rapih akan lebih dipilih.Apa saya harus marah terhadap teman-teman saya? Mereka yang menyudutkan saya dan tetap berteman dengan pelaku yang kini menjalani hidupnya dengan baik-baik saja.
Saya harus marah ke siapa?
Mengadu ke mana?
Menyalahkan apa?
Kalau kalian menjawab; dirimu sendiri lah! Selamat, kalian telah menjadi bagian dari sistem victim blaming nan bangsat! Yang sudah lama mengakar kuat sebelum ada #KitaAgni #KitaIni #KitaItu