Penulis: Angsa Hitam
Illustrator: Kualilaya
“cat.call — make a whistle, shout, or comment of a sexual nature to a women passing by. “they were fired for catcalling at women”
Tidak mudah menjadi perempuan – juga di Indonesia. Jangankan kesempatan memperjuangkan kesamaan hak dan kesetaraan gender, untuk melakukan hal keseharian seperti berjalan di ruang publik tanpa menghadapi pelecehan saja bisa merupakan tantangan tersendiri. Hampir setiap harinya seorang permpuan di Indonesia utamanya sering mengalami perbuatan tidak menyenangkan di jalan atau di ruang publik lainnya. Yang lebih mengerikannya lagi, banyak orang yang beranggapan bahwa hal tersebut adalah wajar dan harus dimaklumi karena dianggap sebagai candaan. Ini lantaran konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang menganggap laki-laki lebih superior dari perempuan, maka dari itu pelecehan terhadap perempuan dianggap menjadi hal yang wajar. Selain itu banyak kasus pelecehan seksual di jalanan, justru yang disalahkan adalah perempuan karena cara berpakaiannya. Kultur ini justru melanggengkan rape culture – budaya perkosaan.
Dua dari ilmuwan pertamayang mempelajari fenomena gangguan di jalan (street harassment), Benard dan Schlaffer (1981) menemukan bahwa para perempuan ketika berjalan di jalanan di Wina, mengalami pelecehan dan tidak memperhatikan umur, berat badan, pakaian yang dikenakan, atau ras oleh laki-laki yang berasal dari latar belakang berbagai ras dan level sosio-ekonomi. Seorang peneliti bernama Gardner (1995) pun menemukan bahwa pengalaman perempuan yang mendapatkan pelecehan di jalan dan mendapat lontaran-lontaran yang bersifat seksis oleh laki-laki asing di jalan membuat mereka merasa lebih rentan dan merasa bahwa tubuhnya bagaikan objek parade untuk dinikmati atau terdegradasi oleh laki-laki asing.
Pernah tidak kita seorang perempuan ketika berjalan sendirian atau berdua dengan teman, sering menemukan panggilan-panggilan aneh dari para lelaki yang tidak kita kenal, merasa tidak nyaman akan hal itu membuat kita para perempuan menjadi merasa sangat risih, takut , dan marah. Inilah yang menyebabkan para perempuan takut untuk berjalan sendirian, ini juga yang menyebabkan mereka memilih menunuduk, mengepalkan tangan, dan pura-pura buta dan tuli jika bertemu lelaki semacam itu saat berjalan sendirian. Peristiwa semacam itu yang sering di alami oleh kaum perempuan biasa disebut cat calling atau catcall. Jika kita terjemahkan ke dalam bahasa indonesia kata catcall akan berarti sebuah ejekan, lontaran ucapan dalam suara keras yang memiliki tendensi seksual, misalnya bersiul, berseru, atau berkomentar kepada perempuan yang lewat di jalanan, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pada diri perempuan.
Catcalling yang merupakan salah satu bentuk gangguan (pelecehan) di jalan yang membuat resah kaum perempuan, selama ini dianggap lumrah dilakukan. Aksi usil yang menurut para lelaki hanya sebuah candaan yang mengusik perempuan ini nyaris tak pernah dianggap serius. Persepsi mayoritas masyarakat nyaris serupa — adalah hal biasa jika lelaki menggoda perempuan, perempuan kerap dipandang sebagai produk dari masyarakat dengan paradigma patriarkis. Perempuan di perlakukan sebagai objek ketimbang rekan yang setara, harus menerima ditatap dan dinilai wajahnya, bentuk tubuhnya, dan pakaiannya.
Catcalling dan fatcalling sama sekali tidak berbeda: mereka yang melakukannya menganggap ini sebuah kebiasaan memperlakukan tubuh perempuan sebagai milik umum, dan keduanya lebih berkaitan dengan ketidakamanan dan keinginan pelecehan untuk memberikan dominasi terhadap perempuan. Perbuatan mengganggu dan merupakan kekerasan seksual secara verbal, bentuk rasa tidak hormat kepada para perempuan, bentuk perendahan martabat seorang perempuan dan pelanggaran terhadap ruang privat, tentu saja, pelecehan terhadap hak otoritas tubuh dari sudut pandang perempuan sebagai korban, mengepa demikian? Pertama, pelaku catcalling merasa berhak menilai dan menjustifikasi penampilan serta tubuh perempuan sebagai objek, biasanya dalam konteks seksual – sesamar apapun itu, kedua, pelaku catcalling mendesakkan suatu bentuk perhatian yang tidak diinginkan, dan justru menganggu. Sebab itu perlu kita ketahui bersama, setiap perempuan berhak di perlakukan penuh hormat, penghargaan dan empati.
Fenomena seperti catcalling ini merupakan salah satunya karena ketiadaan pemahaman gender, sistem pola patriarki yang menganggap perempuan adalah subordinat alih-alih manusia yang setara dengan laki-laki, menurut seorang feminis eksistensialis, Simone de Beauvior, perempuan juga sama seperti laki-laki, yaitu bersifat subjek daripada objek. Perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebebasan berekspresi dalam kehidupan kesehariannya. orang-orang harus di pahamkan agar bisa menempatkan diri sesuai kapasitasnya dalam relasi yang setara.
Dan untuk para kaum lelaki jadilah laki-laki yang elegan, dengan mengembangkan potensi diri, bersikap baik, bertutur kata sopan, ramah serta selalu menjaga kebersihan dan penampilan. Sekian.