Penulis: Cynics like a dog
Illustrator: Kualilaya
Panjang umur kemuakan! Karena bumi hancur oleh kebuasan (birokrasi, elite, aparat, kapital; hipokrit).
Sebuah film yang berjudul “asimetris” dirilis pada 12 maret 2018. Film dokumenter kesembilan ekspedisi Indonesia biru ini diputar di lebih dari 26 kota yang ada di Indonesia pada pemutaran perdananya. Banyak film yang telah digarap oleh Dandhy Laksono, tema film asimetris tidak jauh dari upaya menginterprestasikan persoalan ketimpangan sosial, lingkungan, maupun ekonomi dari dampak alih fungsi lahan, pembakaran hutan/kebakaran hutan, dan perkebunan kelapa sawit. Dokumenter ini menampilkan secara realistik bagaimana kehidupan “korban” dari industri Kelapa Sawit dengan wawancara langsung kepada mereka dan ekploitasi lahan besar-besaran atas hutan di Papua, Sumatera dan Kalimantan.
Film dokumenter ini kembali mengingatkan kita terhadap seluruh konsumsi sehari-hari kita adalah berbahan baku sawit. Seperti peralatan mandi, produk kosmetik, bahan makanan, sampo, sabun, detergen, lotion, minyak wangi,bahan pelumas mesin, campuran bahan bakar, minyak goreng dan banyak produk lainnya. Ya, itu bisa berarti kalimat sarkas yang coba disampaikan bahwa secepatnya larilah dan hentikan beli-beli-beli (baca:konsumerisme).
Sayangnya minyak yang diproduksi dari perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang tidak sedikit, membutuhkan air dalam jumlah banyak, serapan unsur hara dalam jumlah besar dan membutuhkan pekerja yang diupah murah.Untuk itulah hutan-hutan Indonesia dibabat habis.Untuk proses pengalihan lahan, pertama-pertama lahan harus dalam keadaan “bersih,” pembakaran hutan secara ilegal menjadi jurus tercepat. Dengan begitu kita pasti sudah bisa menebak siapakah yang bertanggungjawab dengan kabut asap yang berdampak pada 97 juta jiwa pada tahun 2015 hingga sekarang.
Tentu kita perlu membuang tenaga mempersalahkan semua manusia, sebab hampir semua yang menguasai perkebunan kelapa sawit adalah korporasi, elite, dan penguasa (baca:kapitalisme). Dont blame it satan. Jangan salahkan setan, salahkan yang mengakumulasi kekayaan (baca:borjuasi). Mereka para korporasi tidak hanya melakukan eksploitasi pada alam, namun juga pada manusia yang ia pekerjakan dengan upah murah. Tidak puas dengan mengeksploitasi alam, masyarakat adat juga berkali-kali terancam oleh kapital. Serta tentu dari kesemuanya, korporasi lah yang paling di untungkan dalam mengakumulasi kekayaan.
Lagi-lagiselaluadamasyarakat yng tertuduh atas kegagalan ekonomi Negara, padahal pemerintah lupa bahwa ia tidak hanya mengambil banyak dari alam tapi ia juga telah memakan warganya hidup-hidup. SukuDayakmembakar hutan tidak dengan jumlah yang besar dan bukan untuk kepentingan pemodal, tentu hanya untuk semata-mata mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya.
Film Asimetris juga menampilkan potret ketimpangan sosial yang dialami buruh Kelapa Sawit, mereka dieksploitasi secara terang-terangan. Anak SD berkerja dengan mengumpulkan Daun kelapa sawit yang kering, perkerja wanita yang sudah lebih dan puluhan tahun berkerja akan selamanya dicap sebagai freelance atau perkerja lepas, berangkat pukul 3 pagi dan pulang pukul 3 sore dengan gaji 25-50rb per hari. Pekerja lepas yang artinya tidak ada UMR, tunjangan di hari tua, atau asuransi ketika sakit, gaji harian hanya bisa untuk makan, mengingat harga pokok di luar Jawa jauh lebih mahal.
Dalam film dokumenter ini, kritik konsumerisme dilakukan dengan melihat warga BOTI, Nusa Tenggara yang mampu membuat minyak kelapa dan minyak rambutnya sendiri. Seperti warga Baduy dalam juga menggunakan sampo dari daun cicaang. Kita memilih hidup dengan mengkonsumsi, beli-beli-beli, tanpa membaca dan berfikir sedikitpun.
Film dokumenter ini memiliki keberpihakannya pada warga dan masyarakat. Lantas apakah dengan jelas di film Asimetris ini mengajak warga dengan terangan-terangan memboikot produk kelapa sawit beserta turunannya? Atau dengan sengaja melawan komoditas terbesar Indonesia yang menjadi tumpuan orang banyak.
Bisa jadi.